Jepang pernah menjajah Indonesia selama 3,5 tahun. Ketika mendengar tentang penjajahan Jepang, mungkin yang terpikir adalah romusha, Jugun ianfu, dan beberapa organisasi bentukan Jepang. Selain itu, mungkin kalian pernah mendengar bahwa salah satu isteri presiden pertama kita adalah orang Jepang.
Masuknya Jepang ke Indonesia
Jepang memasuki Indonesia pada awal tahun 1942. Mereka masuk melalui Tarakan pada tanggal 11 Januari 1942. Pada tahun yang sama, faksi dari Sumatera menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Belanda dapat ditaklukkan Jepang pada bulan Maret 1942.
Salah satu pemicu Jepang memasuki Indonesia adalah pengalihan ekspor kepada Amerika Serikat dan Inggris setelah Belanda diduduki Nazi (Jerman). Selain itu, Jepang sudah sejak awal berencana untuk membangun Asia Timur Raya.
Jepang awalnya sempat mendapatkan dukungan dari beberapa tokoh di Indonesia karena dinilai akan membantu pengusiran Belanda. Mereka dianggap sebagai saudara tua Indonesia. Masuknya Jepang ke Indonesia pun dibantu oleh beberapa orang Indonesia. Tapi, pandangan rakyat Indonesia berubah setelah adanya Romusha (kerja paksa) dan Jugun Ianfu (budak seksual). Selain itu, perlakuan Jepang berbeda di setiap daerah Indonesia.
Gerakan 3A
Jepang datang dengan propaganda 3A yang didirikan pada tanggal 29 April 1942. Itu bertepatan dengan Hari Nasional Jepang yakni kelahiran (Tencosetsu) Kaisar Hirohito. Gerakan 3A memiliki semboyan sebagai berikut.
- Nippon Pelindung Asia
- Nippon Pemimpin Asia
- Nippon Cahaya Asia
Gerakan 3A dipelopori oleh Kepala Departemen Propaganda (Sendenbu) Jepang, Hitoshi Shimizu. Hitoshi Shimizu menunjuk Mr Syamsudin (Raden Sjamsoeddin) sebagai Ketua gerakan tersebut.
Organisasi-organisasi Bentukan Jepang
Saat menjajah di Indonesia, Jepang sempat membentuk beberapa organisasi. Organisasi-organisasi tersebut, yaitu :
- Pembela Tanah Air (Peta), dibentuk 3 Oktober 1943.
- Gakukotaii (laskar pelajar)
- Heihoo (barisan cadangan prajurit)
- Seinendan (barisan pemuda)
- Fujinkaii (barisan wanita)
- Puteraa (Pusat Tenaga Rakyat) Jawa
- Hokokai Keibodan (barisan pembantu polisi)
- Jibakutai (pasukan berani mati)
- Kempetai (barisan polisi rahasia)
Romusha
Romusha (労務者) adalah sistem kerja yang diterapkan Jepang di Indonesia, khususnya untuk penduduk wilayah Jawa. Romusha dalam bahasa Jepang bisa diartikan buruh atau pekerja kontrak yang menggunakan cara kerja manual. Saat ini istilah tersebut sudah tidak digunakan lagi di Jepang.
Romusha tidak hanya dipekerjakan di Indonesia. Beberapa di antara mereka dikirim ke luar negeri.
Romusha ditujukan untuk proses pembangunan, seperti kubu pertahanan, jalan raya, rel kereta api, jembatan, dan lapangan udara di Indonesia. Romusha berlangsung selama 3 tahun dari 1942 sampai dengan 1945. Romusha awalnya dipekerjakan secara sukarela dari orang-orang desa yang tidak jauh tempat tinggalnya. Namun, saat Jepang terdesak dalam perang Pasifik, tenaga kerja mulai dipaksakan.
Salah satu hasil kerja Romusha adalah jalur Saketi menuju Bayah yang digunakan ketika mengangkut barang. Pembangunannya memakan banyak korban jiwa.
Jugun Ianfu
Jugun Ianfu (従軍慰安婦) adalah sebutan untuk wanita pemuas nafsu seksual tentara Jepang. Jugun Ianfu berasal dari Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya (Malaysia dan Singapura), Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, orang Eropa, dan penduduk kepulauan Pasifik.
Jumlah mereka diperkirakan antara 20.000 dan 30.000. Rumah bordil Jugun Ianfu berada di pangkalan militer Jepang. Walaupun begitu, pengelolanya adalah penduduk setempat.
Jugun Ianfu awalnya merupakan kebijakan pemerintah Jepang mulai dari tahun 1942 hingga 1945. Alasannya adalah untuk meningkatkan motivasi dan keefektifan tentara Jepang. Selain itu, dengan pengawasan resmi, mereka berharap bisa membatasi penyebaran penyakit kelamin. Jugun Ianfu awalnya direkrut melalui iklan di daerah jajahan Jepang sehingga banyak wanita tunasusila yang tertarik untuk mengajukan diri. Walaupun begitu, perekrutan Jugun Ianfu selanjutnya lebih banyak menggunakan penipuan.
Wanita Indonesia yang menjadi Jugun Ianfu direkrut dengan diiming-imingi sekolah ke luar negeri atau bekerja dengan profesi tertentu. Sebagian dari mereka ada juga yang diambil dari jalanan.
Seikerei
Seikerei merupakan tradisi Jepang untuk membungkukkan badan ke arah matahari terbit. Pada awal kedatangan Jepang, mereka memaksakan tradisi tersebut sehingga menimbulkan perlawanan karena bertentangan ajaran Islam. Salah satu perlawanan terhadap upacara seikerei terjadi di Singaparna Tasikmalaya yang dipimpin oleh K.H Zaenal Mustafa.
Penolakan tersebut membuat Jepang mengubah strateginya dengan tidak memaksakan seikerei lagi. Mereka juga mulai mengangkat tokoh-tokoh dari kalangan ulama untuk menarik simpati rakyat Indonesia.
Hubungan Ir. Sukarno dengan Jepang
Pada Januari 1944 Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa) dibentuk di bawah kepemimpinan Soekarno dan Hasyim Asy’ari. Jepang memperkenalkan Sukarno sebagai pemimpin masa depan Indonesia. Beberapa orang berpendapat bahwa tujuannya Jepang adalah untuk melunakkan perlawanan rakyat Indonesia.
Jepang juga punya beberapa hubungan lain dengan Indonesia. Salah satu isteri Ir. Sukarno adalah Ratna Sari Dewi yang merupakan orang Jepang. Nama aslinya adalah Naoko Nemoto. Beliau lahir pada tanggal 6 Februari 1940. Pada tahun 1962, beliau dinikahi sebagai isteri yang kelima dari presiden Sukarno.
Anak Ratna Sari Dewi bernama Kartika Sari Dewi yang akrab disapa Karina. Dia lahir pada tanggal 11 Maret 1967. Bung Karno sempat menimang putrinya tersebut walaupun tidak bisa mendampinginya saat tumbuh dewasa karena keadaan saat itu tidak memungkinkan.
RT dan RW
BPUPKI dan PPKI
Berakhirnya Penjajahan Jepang
Jepang menyerah pada tahun 1945 karena beberapa sebab. Salah satunya adalah dijatuhkannya bom atom di Hiroshima pada 6 Agustus, dan berlanjut dengan pengeboman Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Sebelum pengeboman tersebut, Jepang sempat menjanjikan kemerdekaan pada Indonesia dengan membentuk BPUPKI, yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan PPKI.
Pada tanggal 16 Agustus, Soekarni Kartodiwirjo dan beberapa pemuda membawa Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok, Jawa Barat. Sukarno dan Hatta sempat kembali di malam harinya ke Jakarta untuk memastikan kekalahan Jepang di tangan sekutu. Pada hari berikutnya, para tokoh menuju rumah laksamana Tadashi Maeda berkat koneksi Ahmad Soebarjo.
Akhirnya, perumusan teks proklamasi diadakan di rumah Laksamana Maeda pada tanggal 16 Agustus. Pada 17 agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Eks Tentara Jepang dan PGI
Setelah Indonesia merdeka dan perang dunia ke-2 berakhir, eks tentara Jepang seharusnya menyerahkan diri kepada sekutu. Berdasarkan data Yayasan Warga Persahabatan (YWP), ada 903 tentara Jepang yang ikut perang kemerdekaan Indonesia setelah Perang Dunia ke-2.
Dari data yang dirilis tahun 2000-an, ada 243 yang meninggal dalam perang, dan 288 menghilang. Ada 45 orang yang kembali ke Jepang, dan sisanya 324 orang memilih menjadi WNI.
Beberapa orang yang melarikan diri dari kesatuannya bergabung dengan TNI untuk menjadi bagian dari TNI. Tapi, ada eks tentara Jepang yang menjadi kriminal. Di Banyumas, ada beberapa eks tentara Jepang yang berpura-pura menjadi anggota TNI walaupun kenyataannya mereka dianggap sudah menjadi perampok.
Sekelompok eks tentara Jepang ada yang membentuk Pasukan Gerilya Istimewa (PGI). Mereka juga menyebut kelompok mereka "Zanryu Nihon Hei" dalam bahasa Jepang. PGI didirikan oleh Mayor Arif (Tomegoro Yoshizumi). Tapi, karena beliau sakit-sakitan dan meninggal pada 10 Agustus 1948 beliau diganti oleh Mayor Abdul Rachman (Tatsuo Ichiki). Ada 10 orang yang tidak setuju dengan keputusan tersebut karena latar belakangnya yang bukan dari militer sehingga mereka keluar dan bergabung dengan TNI di Jawa tengah.
PGI menjadi pasukan andalan TNI di sekitar gunung Semeru walaupun jumlah anggotanya berkurang jadi 18 orang. Salah satu serangan PGI yang sukses adalah penghancuran markas belanda pada 31 Agustus 1948. Menurut Shigeru, penyerangan di Poncokusumo berhasil tanpa tanpa adanya korban di pihak PGI, dan tewasnya semua orang di pihak musuh.
PGI dilebur menjadi pasukan Oentoeng Soeropati 18 (POS 18) pada tahun 1949. Beberapa anggotanya memutuskan untuk menjadi rakyat Indonesia. Beberapa orang tersebut adalah Shigeru Ono (Rahmat), Toshio Tanaka (Hasan), Nagamoto Sugiyama (Soekardi), Syoji Yamaguchi (Husin), Goro Yamano (Abdul Majid). Mereka tetap berjuang bersama Indonesia setelah itu.
BKR dan Eks Tentara Jepang Lainnya
Tokoh lain yang berjuang bersama Indonesia adalah Hideo Ohitsuka yang berganti nama menjadi Mochamad Soemarto. Beliau menikah dengan perempuan Indonesia penjual sayur mayur yang bernama Ngadikem. Saat kembali ke Jepang untuk menemui anak-anaknya dari isteri sebelumnya, beliau sudah tidak bisa berbahasa Jepang lagi. Beliau termasuk salah satu tentara Jepang yang masuk ke BKR / TKR.
Selain Hideo Ohitsuka, ada Mitsuyuki Tanaka yang juga bergabung dengan BKR. Salah satu keterlibatannya dalam perang adalah saat melawan Belanda di kampung Tulung, Magelang. Dia menikahi Suparti seorang gadis asal Salaman pada tahun 1948 setelah sempat mengganti namanya menjadi Sutoro. Anaknya dari Suparti ada 11 orang. Menurut Sugiyon, salah satu anak Sutoro, ayahnya dekat dengan jenderal Ahmad Yani dan sempat diberi mobil Willys.
Sumber :
- Buku Sejarah Sekolah
- Artikel Majalah Historia
- Perjuangan Total Brigade 4 Pada perang kemerdekaan di karesidenan Malang
- Mereka yang terlupakan : Memoar Rahmat Shigeru Ono.
- Wikipedia