Kalau dengar kata perjodohan, yang pertama terlintas di kepala ada beberapa kata misalnya omiai dan ta'aruf. Omiai dan Taáruf sama'sama terkait dengan perkenalan dan perjodohan. Keduanya juga termasuk kata yang "dipersempit maknanya" dengan standar-standar tertentu. Dua-duanya juga "belum lama ada" kalau melihat standar yang berlaku sekarang.
Omiai awalnya ditawarkan orang tua di Jepang kepada anaknya yang dinilai sudah masuk usia pernikahan tapi kurang minat atau belum laku. Omiai yang ada sekarang jarang melibatkan kebaradaan orang tua dan lebih didasari oleh keinginan pribadi.
Selain omiai, ada istilah lain terkait dengan perjodohan di Jepang, yaitu "Nakodo" yang artinya perjodohan yang sudah ditentukan. Perjodohan dengan motif politik atau hubungan bisnis yang hampir sama dengan nakodo hampir ada di seluruh belahan dunia, termasuk di barat yang budaya modernnya mempengaruhi omiai di jepang.
Versi religius dari omiai adalah Taáruf. Ta'aruf dalam hal perkenalan dengan tujuan menikah tidak memiliki dalil yang mewajibkan maupun mengharamkannya. Ta'aruf bisa dikatakan jadi satu kata atau "prosedur" yang menyatukan "aturan-aturan dalam agama islam".
Di Indonesia, perjodohan identik dengan kisah Siti nurbaya yang ada di dalam novel yang berjudul Kasih Tak Sampai. Selain itu, beberapa daerah punya tradisi memingit anak perempuan yang belum menikah. Mungkin itu yang jadi alasan mengapa perjodohan dinilai negatif di Indonesia.
Setelah Perang Dunia II, budaya barat dan konsep percintaan secara romantis menyebar ke seluruh Jepang. Lebih banyak orang ingin menikah karena cinta daripada karena harta atau politik. Tetapi pada saat itu, orang-orang Jepang memiliki pandangan yang berbeda tentang cinta. Mereka berpikir bahwa cinta adalah hal yang rapuh dan tidak akan bertahan lama. Cinta bukanlah sesuatu yang dibutuhkan untuk membangun hubungan yang serius, apalagi pernikahan. Meskipun cinta dianggap sebagai perasaan yang kuat, tetapi juga tidak stabil dan cepat berlalu.
Kebanyakan orang dengan budaya yang berbeda menganggap bahwa pernikahan yang dilakukan dalam waktu perkenalan yang singkat tidak akan berakhir bahagia karena akan memicu perceraian. Perjodohan pun dianggap tabu tanpa membedakan perjodohan yang dipaksakan dengan perjodohan yang sebatas saran. Namun, pasangan yang menikah dengan cara “omiai” ternyata memiliki tingkat perceraian yang lebih rendah dibandingkan dengan pernikahan karena pacaran.