Sejarah kelam dan Rasisme di indonesia?

Indonesia memiliki semboyan Bhineka tunggal ika dan sila ke-3. Tapi, di sisi lain, Indonesia memiliki catatan kelam dalam hal generalisasi ras. Kebanyakan peristiwa "pembantaian yang menargetkan etnis tertentu" terjadi di pulau Jawa, walaupun ada juga yang terjadi Kalimantan, Sumatera, & daerah lain di Indonesia.

Pada tanggal 19 Mei 1998 ada peristiwa kerusuhan yang disertai penjarahan dan pemerkosaan terhadap etnis tionghoa berdasarkan kesaksian beberapa pihak. Khusus untuk kasus pemerkosaan, pemerintah Indonesia saat itu pernah membantah bahwa peristiwa itu pernah terjadi karena dianggap tidak mempunyai bukti konkrit. Sebagian pihak berspekulasi bahwa Pangab saat itu sengaja melakukan pembiaran. Bagian terbesar dari peristiwa kerusuhan tersebut terjadi di Medan, Jakarta, dan Surakarta.

Kalau kita mundur ke tahun 1980an, ada peristiwa pelemparan rumah & pemukulan terhadap etnis tionghoa di Jawa tengah yang kabarnya hanya dipicu oleh keributan beberapa siswa hingga merambat karena adanya provokasi. Tapi, di sisi lain banyak yang berspekulasi bahwa peristiwa ini sebenarnya hanya kecemburuan terhadap kesuksesan suatu etnis.

Di Kalimantan barat pernah ada peristiwa mangkuk merah pada tahun 1967. Peristiwa ini dimulai dengan pembentukan PGRS (Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak) oleh seorang Menteri Negara di Kabinet Dwikora I, Oei Tjoe Tat pada tahun 1964. Dasar pembentukan PGRS adalah instruksi presiden Sukarno setelah adanya "kampanye Ganyang Malaysia". Banyak etnis tionghoa yang tertarik untuk mengikuti PGRS saat itu. Sayangnya, kampanye kontra Malaysia pada akhirnya menguap karena peristiwa G30S P3KI.

Di sisi lain, PGRS/Paraku kena imbas setelah adanya gagasan untuk mengganyang PKI sampai ke akar-akarnya oleh Suharto yang saat itu menguasai militer. Militer yang mulai meninggalkan Sukarno menggerakkan massa Dayak untuk membasmi PGRS/Paraku sehingga melibatkan ribuan peranakan Tionghoa yang sebenarnya tidak tahu-menahu tentang persoalan ini.
Menurut beberapa sumber, peristiwa Mangkuk Merah 1967 ini dipicu oleh serangkaian rekayasa pembunuhan sejumlah tokoh Dayak dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Beberapa orang menuduh pelakunya adalah PGRS/Paraku dan etnis Tionghoa merupakan penyokong mereka. Peristiwa ini mengakibatkan sekitar 3.000 korban tewas di pedalaman dan sekitar 4.000 sampai dengan 5.000 korban tewas di pengungsian di Pontianak dan Singkawang karena gizi buruk dan keterbatasan pasokan pangan. Selain itu, minimnya fasilitas sanitasi dan kesehatan dinilai memperburuk keadaan tersebut.

Lebih jauh lagi, ada peristiwa yang disebut masa bersiap oleh Belanda dan masyarakat Indo-eropa. Masa bersiap dimulai di depok pada 9 Oktober 1945 dan diperkirakan berlangsung hingga 1946, walaupun ada juga yang menyatakan itu berlanjut hingga 1950. Selain serangan terhadap warga keturunan Belanda, banyak orang dari etnis Maluku & Ambon yang menjadi korban karena dianggap kerap bekerja sama dengan pemerintah serta militer Belanda.

Ada peristiwa lain yang terjadi terkait "generalisasi ras & etnis" dan "definisi tenggang rasa yang kurang tepat". Tapi, seberapa banyak pun peristiwa sejenis, bukan sejarahnya saja yang harus kita caritahu, melainkan cara untuk mengatasi supaya ini tidak terjadi lagi. Ada baiknya untuk tidak membawa-bawa ras & etnis dalam kampanye politik, apalagi dengan menjadikannya alasan untuk menjelekkan seseorang. Entah leluhurnya dari Cina, Yaman, Arab, India, atau lainnya; siapapun yang lahir di Indonesia dengan dua ortu Indonesia adalah WNI asli berdasarkan UUD. Kesalahan sekelompok orang tidak bisa dipukul rata jadi kesalahan orang-orang yang etnis atau identitasnya sama.
Berikutnya
« Prev Post
Sebelumnya
Next Post »